Archive for January 1, 2010

Plasenta Previa

Posted: January 1, 2010 in Plasenta Previa

Epidemiologi

Plasenta previa didefinisikan sebagai implantasi plasenta yang tidak normal yaitu di segmen bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Kondisi ini merupakan penyebab perdarahan pada trimester kedua dan ketiga yang paling sering. Plasenta previa terjadi pada 2,8 dari 1.000 kehamilan tunggal dan 3,9 dari 1.000 kehamilan kembar. Ibu dengan plasenta previa memiliki risiko lebih besar untuk partus preterm dan mortalitas perinatal 3-4 kali lebih tinggi dari kehamilan normal. Plasenta previa terjadi kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Satu di antara 125 persalinan terdaftaran (0,8%) di RSCM Jakarta pada tahun 1971 – 1975.

Klasifikasi plasenta previa menggambarkan posisi plasenta dengan serviks ketika partus, yaitu plasenta previa letak rendah, marginalis, parsialis, dan totalis. Dalam beberapa tahun terakhir, diagnosis plasenta previa dilakukan dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal, di mana jarak tepi plasenta dengan ostium uteri internum dapat diukur secara tepat. Nilai prognosis yang lebih baik dari penegakan diagnosis plasenta previa menggunakan ultrasonografi transvaginal membuat terminologi klasifikasi lama yang kurang tepat mulai ditinggalkan.

        

Patofisiologi

Patofisiologi dari plasenta previa hingga saat ini belum diketahui, namun seringkali dikaitkan dengan  riwayat plasenta previa sebelumnya, multiparitas, kehamilan multipel, usia tua ketika hamil, riwayat sectio caesarea, riwayat abortus, dan merokok. Plasenta previa dihubungkan dengan riwayat sectio caesarea. Mekanisme terjadinya plasenta previa akibat adanya jaringan parut tidak sepenuhnya diketahui, tapi mungkin disebabkan oleh berkurangnya pertumbuhan differensial dari segmen bawah uterus yang menyebabkan kurangnya pergerakan posisi plasenta seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Meningkatnya angka sectio caesarea meningkatkan insidensi plasenta previa (1:2500)

Faktor Predisposisi

1. Multiparitas dan umur lanjut (> 35 tahun)

2. Defek vaskularisasi desidua oleh peradangan dan atrofi

3. Cacat/jaringan parut pada endometrium oleh bekas-bekas pembedahan (SC, kuret, dan lain-lain)

4. Khorion leve persisten

5. Korpus luteum bereaksi terlambat

6. Konsepsi dan nidasi terlambat

7. Plasenta besar pada hamil ganda dan eritroblastosis atau hidrops fetalis.

Manifestasi Klinis

Plasenta previa sering ditandai dengan perdarahan vagina yang muncul tiba-tiba pada trimester ketiga kehamilan. Seiring bertambahnya usia kehamilan, segmen bawah uterus terus melebar dan serviks mulai membuka. Jika implantasi plasenta terletak pada segmen bawah uterus, maka dengan bertambah lebarnya uterus dan membukanya serviks dapat diikuti dengan terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus dan terjadilah perdarahan. Semakin rendah letak plasenta maka semakin dini perdarahan dapat terjadi. Perdarahan biasanya berlangsung tanpa nyeri dengan darah berwarna merah terang. Pada 20% kasus, perdarahan disertai dengan irritabilitas uterus. Perdarahan inisial biasanya tidak berat sampai menimbulkan kematian, perdarahan berhenti secara spontan dan dapat timbul kembali dengan derajat yang lebih berat.

Plasenta di segmen bawah uterus dapat menghalangi bagian terbawah janin untuk memasuki pintu atas panggul, sehingga pada pemeriksaan ditemukan bahwa bagian terbawah janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul pada plasenta previa sentralis; mengolak ke samping karena plasenta previa parsialis; menonjol di atas simfisis karena plasenta previa posterior; atau sukar ditentukan karena plasenta previa anterior. Hal ini seringkali menyebabkan kelainan letak janin.

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan perdarahan berat, hipotensi, takikardia, uterus yang lunak dan tidak ditemukan nyeri tekan, denyut jantung janin normal. Pemeriksaan dalam harus dilakukan di atas meja operasi agar dapat segera mengatasi perdarahan tidak terkontrol yang mungkin terjadi ketika pemeriksaan dilakukan. Diagnosis terkadang dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik yang baik, namun agak berisiko, yaitu dengan melewatkan jari ke dalam serviks dan teraba adanya plasenta. Pemeriksaan seperti ini tidak diperbolehkan kecuali dilakukan di ruang operasi dengan persiapan lengkap untuk sectio caesarean, karena bahkan dengan sentuhan yang paling lembut sekalipun dapat menyebabkan perdarahan hebat. Bila terjadi perdarahan, harus segera dilakukan persalinan meskipun janin masih imatur. Namun pemeriksaan seperti ini jarang diperlukan, karena letak plasenta hampir selalu dapat diketahui melalui USG.

Periksa dalam di atas meja operasi; infus atau transfusi darah telah dipasang (double set up) :

  1. Inspekulo (pemeriksaan dengan spekulum)
  2. Meraba forniks, mulai dari forniks posterior, apa ada teraba tahanan lunak (ban talan) antara bagian terdepan janin dengan jari kita.
  3. Jari dimasukkan hati-hati ke dalam ostium uteri internum (intraservikal) untuk meraba adanya jaringan plasenta.

Diagnosis

Plasenta previa harus selalu dicurigai pada wanita dengan perdarahan per vaginam pada paruh akhir kehamilan (kehamilan di atas 18-20 minggu). Selain dari manifestasi klinis yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis, penunjang seperti ultrasonografi dapat memberikan diagnosis yang akurat karena dapat menentukan secara pasti letak dari plasenta. Ultrasonografi transvaginal dapat digunakan untuk mengetahui letak plasenta dalam usia kehamilan berapa pun jika dicurigai letak plasenta rendah. Modalitas ini terbukti lebih tepat dan aman taripada ultrasonografi transabdominal. Kemungkinan adanya plasenta previa tidak dapat disingkirkan hingga dilakukan evaluasi (termasuk USG), yang membuktikan tidak adanya plasenta previa.

Plasenta previa sering ditemui pada awal kehamilan, dan persistensinya hingga kehamilan aterm bergantung pada usia kehamilan dan jarak antara tepi plasenta dengan ostium uteri internum yang dapat diketahui melalui pemeriksaan ultrasonografi transvaginal. Penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan plasenta previa persisten adalah 0 jika tepi plasenta mencapai tapi tidak bertumpang tindih dengan ostium dan meningkat secara signifikan jika terjadi tumpang tindih lebih dari 15 mm. Pada plasenta yang bertumpang tindih dengan ostium lebih dari 25 mm, memiliki kemungkinan plasenta previa menetap sampai waktu persalinan sampai 40-100%.

Proses migrasi plasenta atau pergerakan relatif plasenta ke atas yang disebabkan oleh pertumbuhan diferensial segmen bawah terus berlanjut hingga trimester ketiga akhir. Laju migrasi rata-rata >1mm per minggu bersifat prediktif untuk keluaran normal. Tumpang tindih >20mm setelah 26 minggu bersifat prediktif untuk dibutuhkannya sectio caesarea (SC).

Rekomendasi yang dianjurkan saat ini adalah jika ditemukan tepi plasenta mencapai atau tumpang tindih dengan ostium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal antara 18-24 minggu (insidensi 2-4%), dibutuhkan evaluasi lokasi plasenta kembali pada trimester ketiga. Jika tepi plasenta terletak antara 20mm dari ostium dan 20mm tumpang tindih setelah usia kehamilan 26 minggu, ultrasonografi harus dilakukan berulang secara teratur bergantung pada usia kehamilan, jarak dari ostium, dan gejala klinis seperti perdarahan, karena perubahan dari lokasi plasenta masih dapat terus berlangsung.

Tatalaksana

Jika pasien tanpa gejala dan usia kehamilan <37 minggu serta tidak dibutuhkan persalinan segera maka pasien dapat menjalani rawat jalan dengan pemeriksaan antenatal berkala secara teratur. Pemberian kortikosteroid diindikasikan untuk mematangkan paru janin. Untuk menunda persalinan, dapat digunakan obat tokolitik seperti magnesium sulfat atau terbutalin. Dalam keadaan gawat darurat, yaitu jika terjadi perdarahan berat, tatalaksana utama adalah resusitasi cairan untuk mencegah syok sambil terus memonitor keadaan janin. Jika janin sudah matur (usia kehamilan >37 minggu) dan pasien sudah  memasuki persalinan atau terdapat perdarahan berat, maka tatalaksana untuk plasenta previa adalah segera lahirkan janin.

Yang perlu diperhatikan dalam penanganan plasenta previa:

  • keadaan umum pasien, kadar Hb
  • jumlah perdarahan yang terjadi
  • umur kehamilan/taksiran BB janin
  • jenis plasenta previa
  • paritas dan kemajuan persalinan.

Penanganan Ekspektatif (Pasif)

Tujuan  penanganan pasif :  Pada kasus tertentu sangat bermanfaat untuk mengurangi angka kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas. Pada penanganan pasif ini tidak akan berhasil untuk angka kematian perinatal pada kasus plasenta previa sentralis.

Kriteria :

  • Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
  • Perdarahan sedikit
  • Belum ada tanda-tanda persalinan
  • Keadaan umum pasien baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih

Rencana penanganan :

  • Tirah baring
  • Infus Dextrose 5% dan elektrolit
  • Spasmolitik, tokolitik, plasentotropik, roboransia
  • Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah
  • Pemeriksaan USG
  • Awasi perdarahan terus menerus, tekanan darah, nadi dan denyut jantung janin
  • Apabila ada tanda-tanda plasenta previa, tergantung keadaan, pasien dirawat sampai kehamilan 37 minggu, selanjutnya penanganan secara aktif.

Penanganan Aktif

Kriteria :

  • Umur kehamilan (masa gestasi) >37 minggu, BB janin >2500 gram, perdarahan banyak, 500 ml atau lebih, ada tanda-tanda persalinan.
  • Keadaan umum pasien tidak baik, ibu anemik, Hb < 8%.

Cara Persalinan

Penentuan cara persalinan apakah akan dilakukan per vaginam atau melalui sectio caesarea dapat ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan jarak antara tepi plasenta dengan ostium uteri internum menggunakan modalitas ultrasonografi transvaginal. Pemeriksaan jarak tepi plasenta dengan ostium pada usia kehamilan 35 minggu menggunakan ultrasonografi transvaginal berguna untuk merencanakan cara persalinan yang dipilih. Jika tepi plasenta terletak >20 mm dari ostium, ibu hamil dapat ditawarkan untuk persalinan per vaginam dengan ekspektasi keberhasilan yang tinggi. Jarak antara 0-20 mm dihubungkan dengan tingkat sectio caesarea yang lebih tinggi, walaupun persalinan per vaginam masih mungkin bergantung pada ada tidaknya gejala klinis. Secara umum, plasenta yang tetap tumpang tindih dengan ostium setelah usia kehamilan 35 minggu merupakan indikasi untuk sectio caesarea.

Persalinan per vaginam – Bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta & bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung. Sehingga perdarahan berhenti.

Dilakukan dengan cara :

1)       Pemecahan selaput ketuban karena bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah. Bagian plasenta yang berdarah dapat bebas mengikuti regangan segmen bawah uterus sehingga pelepasan plasenta dapat dihindari

2)       Pemasangan  Cunam Willett dan versi Braxton Hiks. Tindakan versi Braxton Hicks dengan pemberat atau pemasangan cunam Willet-Gausz dengan pemberat untuk menghentikan perdarahan (kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin terbadap plasenta) hanya dilakukan pada keadaan darurat, anak masih kecil atau sudah mati, dan tidak ada fasilitas untuk melakukan operasi.

Seksio caesarean (per abdominam) Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea adalah untuk menyelamatkan ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.

Untuk menentukan tindakan selanjutnya, SC atau partus pervaginam, dilakukan pemeriksaan dalam (VT) di kamar bedah, infus/transfusi darah sudah dipasang. Umumnya dilakukan SC. Partus pervaginam dilakukan pada plasenta previa marginalis dan anak sudah meninggal. Tetapi bila perdarahan banyak, segera SC.

Komplikasi

1. Perdarahan dan syok

2. Infeksi

3. Laserasi serviks

4. Plasenta akreta

Prognosis

Pada plasenta previa dengan penanggulangan yang baik maka kematian ibu rendah sekali,tapi jika keadaan janin buruk menyebabkan kematian perinatal prematuritas.

Ibu           : Dengan adanya fasilitas diagnosis dini (USG), transfusi darah, teknik anestesi dan operasi yang baik dengan indikasi SC yang lebih liberal, prognosis ibu cukup baik. Prognosis kurang baik jika penolong melakukan VT di luar rumah sakit dan mengirim pasien sangat terlambat dan tanpa infus.

Anak        : Kematian janin umumnya disebabkan prematuritas.

Daftar Pustaka

Diunduh dari Presentasi kasus Plasenta Previa Marginalis kelompok 1 2004 obgyn romb.A

Perdarahan Antepartum

Posted: January 1, 2010 in Perdarahan Antepartum

Definisi

Perdarahan antepartum merupakan perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 22 minggu, sedangkan perdarahan sebelum kehamilan 22 minggu disebut abortus. Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu umumnya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada sebelum kehamilan 22 minggu, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda. Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber dari kelainan plasenta misal pada perdarahan serviks, tidak bersifat mengancam. Pada setiap perdarahan antepartum, harus dipikirkan kelainan plasenta sebagai penyebabnya hingga dibuktikan sebaliknya.

Etiologi

Perdarahan yang terjadi pada kehamilan harus dibedakan antara penyebab obstetri dan non-obstetri. Penyebab perdarahan non-obstetri biasanya hanya mengeluarkan perdarahan sedikit dan tidak menimbulkan ancaman pada janin.

Tabel 1. Penyebab Obstetri dan Non Obstetri Perdarahan Antepartum

Penyebab Obstetri Penyebab Non-Obstetri
Bloody showPlasenta previa

Solusio plasenta

Vasa previa

DIC

Ruptur uterus

Perdarahan sinus marginal

Kanker serviksServisitis

Polip serviks

Eversi serviks

Laserasi vagina

Vaginitis

Perdarahan dari uterus sebelum persalinan merupakan hal yang harus selalu diwaspadai. Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta yang tidak terlalu sukar ditentukan secara klinis adalah plasenta previa dan solusio plasenta. Plasenta previa menyebabkan perdarahan akibat adanya pelepasan plasenta yang berimplantasi di dekat kanalis servikalis. Solusio plasenta menyebabkan perdarahan akibat pelepasan plasenta yang terletak di tempat lain dalam uterus. Terkadang, dapat juga terjadi perdarahan yang diakibatkan rupturnya tali umbilikalis dengan insersi velamenta diikuti perdarahan dari pembuluh darah fetal yang terjadi saat membran amnion pecah. Hal ini disebut dengan vasa previa. Berdasarkan hal tersebut, perdarahan antepartum dapat diklasifikasikan secara klinis menjadi (1) plasenta previa, (2) solusio plasenta (3) perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya. Ruptur sinus marginalis, vasa previa, plasenta letak rendah merupakan penyebab perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya. Sedangkan penyebab lain yang bersifat non obstetrik telah diuraikan pada tabel sebelumnya.

Plasenta letak rendah umumnya baru menimbulkan perdarahan antepartum pada akhir kehamilan atau pada permulaan persalinan. Vasa previa baru menimbulkan perdarahan antepartum setelah pemecahan selaput ketuban. Perdarahan dari serviks dapat terlihat pada pemeriksaan inspekulo. Perdarahan dari vagina adalah hal yang normal terjadi selama persalinan. Adanya tanda persalinan berupa bloody show diakibatkan dari pendataran dan dilatasi serviks yang mengakibatkan pecahnya beberapa vena kecil.

Tabel 2. Penyebab Perdarahan pada Akhir Kehamilan

  

Epidemiologi dan Faktor Risiko

Perdarahan pada trimester ketiga kehamilan merupakan salah satu komplikasi tersering yang terjadi selama kehamilan. Perdarahan pada akhir masa kehamilan sering terjadi dan membutuhkan evaluasi medis pada 5-10% kasus. Perdarahan antepartum merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian maternal dan penyebab dari morbiditas serta mortalitas perinatal di Amerika Serikat. Kasus perdarahan terberat (2-3% kehamilan) mengakibatkan kehilangan darah lebih dari 800 ml dan disebabkan oleh solutio plasenta atau plasenta previa.

                Data yang tersedia di RSCM antara tahun 1971-1975, terjadi 2114 kasus perdarahan antepartum diantara 14824 persalinan, atau sekitar 14%.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Pada sebagian besar kasus, perdarahan antepartum terjadi pada trimester ketiga atau setelah kehamilan 28 minggu. Perdarahan antepartum tanpa rasa nyeri merupakan tanda khas plasenta previa. Plasenta previa bisa disertai tanda-tanda lain berupa bagian terbawah janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul atau kelainan letak janin.

                Solusio plasenta tidak segera ditandai dengan perdarahan per vaginam. Gejala awalnya adalah rasa nyeri pada kandungan yang semakin lama semakin hebat. Rasa nyeri yang terus-menerus ini seringkali diabaikan. Pasien umumnya baru mencari pertolongan setelah terjadi perdarahan retroplasentar yang banyak dan menyebabkan pingsan, atau setelah nampak perdarahan per vaginam. Dapat terjadi kematian janin dalam kandungan.

Tabel 3. Diagnosis Perdarahan Antepartum

 

Tatalaksana

Penyebab perdarahan uterus yang terletak di atas serviks tidak selalu dapat diidentifikasi. Pengawasan antenatal hanya sedikit memegang peranan dalam hal pencegahan. Perdarahan biasanya dimulai sedikit demi sedikit dan tanpa gejala, setelah itu dapat berhenti hingga saat persalinan tanpa diketahui penyebabnya. Hal ini sebagian besar disebebkan pelepasan marginal dari plasenta yang tidak meluas. Kehamilan dengan riwayat perdarahan seperti ini tetap memiliki risiko walau perdarahan cepat berhenti dan adanya plasenta previa sudah tersingkirkan melalui pemeriksaan sonografi. Oleh karena itu, persalinan segera harus dipertimbangkan pada wanita dengan kehamilan aterm dengan perdarahan per vaginam yang tidak dapat dijelaskan.

                Pengawasan antenatal, walaupun tidak banyak berperan dalam pencegahan, memegang peranan penting dalam mengurangi penyulit yang mungkin terjadi. Penentuan golongan darah ibu, pengobatan anemia dalam kehamilan, seleksi ibu untuk bersalin di rumah sakit, mendeteksi kemungkinan plasenta previa, serta penanganan hipertensi dan pre eklampsia merupakan tindakan antenatal yang dapat mengurangi terjadinya penyulit.

Daftar Pustaka

  1. Diunduh dari PRESENTASI  KASUS PLASENTA PREVIA MARGINALIS–Kelompok 1 Obgyn 2004 romb.A

EKSTRAKSI VAKUM

Posted: January 1, 2010 in Ekstraksi Vakum

Definisi

Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akan memegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melalui seutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (oleh kontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum).

Indikasi

–          Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/verteks.

Kontraindikasi

–          Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong).

–          Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul).

Syarat khusus

–          Pembukaan lengkap atau hampir lengkap

–          Presentasi kepala

–          Cukup bulan (tidak prematur)

–          Tidak ada kesempitan panggul

–          Anak hidup dan tidak gawat janin

–          Penurunan H III/III+ (Puskesmas H IV / dasar panggul)

–          Kontraksi baik

–          Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan

Prinsip ekstraksi vakum:

Membuat suatu caput succadeneum artifisialis dengan cara memberikan tekanan negatif pada kulit kepala janin melalui alat ekstraktor vakum.

Gambar 1. Caput Succadeneum

[clip_image002[10][2].gif]

Gambar 2. Pemasangan cawan penghisap dalam keadaan miring

Langkah-langkah klinik

  1. A.    Persetujuan tindakan        
  2. B.     Persiapan sebelum tindakan

B.I. Pasien

  1. Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan dengan air dan sabun.
  2. Uji fungsi dan perlengkapan perlatan ekstraksi vakum.
  3. Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.
  4. Medikamentosa
    1. Oksigen
    2. Ergometrin
    3. Prokain 1%
    4. Larutkan antiseptik (Povidon lodin 10%)
    5. Oksigen dengan regulator
    6. Instrumen
      1. Set partus : 1 set
      2. Vakum ekstraktor : 1 setc. Klem ovum : 2
      3. Cunam tampon : 1
      4. Tabung 5 ml dan jarum suntik No. 23 (sekali pakai) : 2
      5. Spekulum Sim’s atau L dan kateter karet : 2 dan 1

B.II Penolong (operator dan asisten)

  1. Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata pelindung : 3 set
  2. Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang
  3. Alas kaki (sepatu/”boot” karet) : 3 pasang
  4. Instrumen
    1. Lampu sorot : 1
    2. Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1

B.III. Bayi 

  1. Instrumen
    1. Penghisap lendir dan sudep/penekan lidah : 1 set
    2. Kain penyeka muka dan badan : 2
    3. Meja bersih, kering dan hangat (untuk tindakan) : 1
    4. Inkubator : 1 set
    5. Pemotong dan pengikat tali pusat : 1 set
    6. Tabung 20 ml dan jarum suntik No. 23/ insulin (sekali pakai) : 2
    7. Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2
    8. Popok dan selimut : 1
    9. Alat resusitasi bayi
    10. Medikamentosa
      1. Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%
      2. Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB
      3. Epinefrin 0,01%
      4. Antibiotika
      5. Akuabidestilata dan Dekstrose 10%
    11. Oksigen dengan regulator
  2. C.    Pencegahan infeksi sebelum tindakan
  3. D.    Tindakan
    1. Instruksikan asisten untuk menyipakan ekstraktor vakum dan pastikan petugas dan persiapan untuk menolong bayi telah tersedia.
    2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terpenuhinya persyaratan ekstraksi vakum.

▪   Bila penurunan kepala di atas H IV (0/5), rujuk ke Rumah Sakit.

  1. Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%, bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan, lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut.
  2. Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.
  3. E.     Pemasangan mangkok vakum
    1. Masukkan mangkok vakum melalui introitus, pasangkan pada kepala bayi (perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil).
    2. Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit di antara mangkok dan kepala.
    3. Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya.
    4. Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam mangkok) secra bertahap.
    5. Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau -2 (Malmstroom) setelah 2 menit, naikkan hingga skala 60 (silastik) atau -6 (Malmstroom) dan tunggu 2 menit.

▪   Ingat : Jangan gunakan tekanan maksumal pada kepala bayi, lebih dari 8 menit.)

  1. Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif.
  2. F.     Penarikan
    1. Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.
    2. Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua. Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.

› Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir, sebaiknya pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).

› Apabila pada penarikan ternyata mangkuk terlepas hingga dua kali, kondisi ini juga mengharuskan pasien dirujuk.

  1. Saat subosiput berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka dan dagu.
  2. G.    Melahirkan bayi
    1. Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang, kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi.
    2. Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.
  3. H.    Lahirkan plasenta
    1. Suntikkan oksigen, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.
    2. Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas atau tidak lengkap).
    3. Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).
  4. I.       Eksplorasi jalan lahir
    1. Masukkan spekulum Sim’s/L atas dan bawah pada vagina.
    2. Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau robekan pada dinding vagina di tempat lain.
    3. Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio.
    4. Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan dan lanjutkan ke langkah K.
    5. Bila dilakukan episiotomi, lanjutkan ke langkah J.

 

  1. J.      Penjahitan episiotomi
    1. Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot, jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah.
    2. Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset bergigi.
    3. Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali  pengikat tampon  dan  kain penutup perut bawah dengan kocher.
    4. Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara subkutikuler atau jelujur matras.
    5. Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.
    6. Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah diberi larutan antiseptik.
    7. Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan episiotomi.    
  2. K.    Dekontaminasi
  3. L.     Cuci tangan pascatindakan
  4. M.   Perawatan pascatindakan
    1. Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi lanjut bila diperlukan.
    2. Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom yang tersedia dalam status pasien.
    3. Tegaskan pada petugas yang merawat untuk melaksanakan instruksi pengobatan dan perawatan serta laporkan segera bila pada pemamntauan lanjutan terjadi perubahan-perubahan yang harus diwaspadai.

 

Kriteria Kegagalan Ekstraksi Vakum

  1. Cawan penghisap terlepas lebih dari 3 kali saat melakukan traksi dan hal ini biasanya terjadi oleh karena :
    1. Tenaga vakum terlampau rendah (seharusnya -0.8 kg/cm2) oleh karena kerusakan pada alat atau pembentukan caput succedaneum yang terlampau cepat ( < 0.2 kg/cm2 per 2 menit)
    2. Terdapat selaput ketuban atau bagian jalan lahir yang terjepit diantara cawan penghisap dengan kepala anak.
    3. Saat melakukan traksi : kedua tangan penolong tidak bekerja secara harmonis, traksi dengan arah yang tidak tegak lurus dengan bidang cawan penghisap atau traksi dilakukan dengan tenaga yang berlebihan.
    4. Terdapat gangguan pada imbang sepalopelvik (CPD)
  2. Setelah dilakukan traksi selama 30 menit, janin belum dapat dilahirkan.

Komplikasi

Pada Ibu :

  • Perdarahan
  • Infeksi jalan lahir
  • Trauma jalan lahir

Pada anak :

  • Ekskoriasi dan nekrosis kulit kepala
  • Cephal hematoma
  • Subgaleal hematoma
  • Perdarahan intrakranial
  • Perdarahan subconjuntiva, perdarahan retina
  • Fraktura klavikula
  • Distosia bahu
  • Cedera pada syaraf cranial ke VI dan VII
  • Erb paralysa
  • Kematian janin

 

Keunggulan ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:

  1. Tehnik pelaksanaan relatif lebih mudah
  2. Tidak memerlukan anaesthesia general
  3. Ukuran yang akan melewati jalan lahir tidak bertambah (cawan penghisap tidak menambah ukuran besar bagian anak yang akan melwati jalan lahir)
  4. Trauma pada kepala janin relatif rendah

Kerugian ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:

  1. Proses persalinan membutuhkan waktu yang lebih lama.
  2. Tenaga traksi pada ekstraktor vakum tidak sekuat ekstraksi cunam.
  3. Pemeliharaan instrumen ekstraktor vakum lebih rumit.
  4. Ekstraktor vakum lebih sering menyebabkan icterus neonatorum.

Berbagai rekomendasi berkaitan dengan tindakan ekstraksi vakum :

  1. Klasifikasi persalinan dengan ekstraksi vakum hendaknya menggunakan klasifikasi yang sama dengan ekstraksi cunam.
  2. Indikasi dan kontraindikasi yang dipakai dalam ekstraksi cunam hendaknya juga digunakan pada ekstraksi vakum.
  3. Ekstraksi vakum tidak boleh dilakukan pada kepala yang masih belum engage atau diatas station 0.
  4. Operator hendaknya memiliki pengalaman yang cukup dalam menggunakan peralatan ekstraksi vakum.
  5. Operator harus segera menghentikan usaha persalinan pervaginam dengan ekstraksi vakum bila cawan penghisap terlepas sampai 3 kali saat melakukan traksi.

Kesimpulan
Ekstraksi vacuum adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan ekstraksi tekanan negative ( sedot ) pada kepala dengan menggunakan ekstraktor vacuum ( ventouse ) dari maelstrom.
Model persalinan yang dibantu ini hanya menimbulkan sedikit trauma pada jaringan ibu. Laserasi kulit kepala dan cepal hematoma merupakan komplikasi utama pada penggunaan alat ini, namun mayoritas penyulit tersebut adalah akibat seleksi yang buruk dan pemaksaan persalinan pervaginan dengan segala resiko. Traksi pada vakum yang menempel pada kepala saat melewati perineum dapat lebih mengendalikan distensi perineum, dan bahkan dapat menghindari perlunya episiotomi.

Daftar Pustaka

  1. Ekstrasi vakum. 2008. Diunduh dari :  www.scrib.com/doc/6502554/ekstraksi-vakum.html
  2. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.repository.ui.ac.id.dokumen/lihat/2162.pdf
  3. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.obfkumj.blogspot.com/2009/07/ekstraksi-vakum.html
  4. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.rafani.co.cc/2009/07/ekstraksi-vakum.html